Permasalahan Gizi Buruk Bersifat Multidimensi yang Menyangkut Kemiskinan, Gaya Hidup dan Sosial Budaya

Surabaya, eHealth. Indonesia sebagai negara berkembang secara perlahan mulai bergerak maju untuk menyamakan diri dengan negara maju lainnya. Tetapi sayangnya, hal tersebut berlaku pula untuk pola penyakitnya. Bila dahulu penyakit infeksi merupakan jenis penyakit yang paling banyak terjadi di Indonesia, maka saat ini pola tersebut secara perlahan mulai berubah.

Saat ini, jumlah pasien penyakit tidak menular atau non communicable diseases seperti stroke, hipertensi, diabetes semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ternyata penyakit tersebut, terutama diabetes tipe 2 (yang tidak tergantung insulin) juga mulai ditemukan pada anak-anak.

Hal ini disampaikan oleh Andriyanto, Amd Gizi, SH, Mkes, Ketua Umum Persatuan Ahli Gizi (PERSAGI) DPD Jawa Timur, saat memberikan arahan terkait ”Gizi Baik Kunci Keberhasilan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)” yang digelar di hotel Meritus Surabaya, hari Sabtu (25/01/2014).

Ia mengatakan, kompleksitas masalah gizi yang sampai saat ini masih diderita oleh sebagian masyarakat Indonesia terjadi bukan disebabkan oleh banyak faktor baik yang bersifat makro maupun mikro. Akibatnya, akan menjadikan masyarakat menjadi tidak sehat dan tidak cerdas dalam menaungi kehidupannya, yang pada gilirannya akan menjadi beban Pemerintah.

Dengan demikian, masalah gizi buruk dan gizi kurang bersifat multidimensi menyangkut kemiskinan, ketidaktahuan, gaya hidup, sosial budaya.

Penelitian terhadap pengaruh kekurangan gizi terhadap pencapaian kualitas sumberdaya manusia telah banyak dilakukan. Sekurangnya terdapat empat dampak negatif kekurangan gizi terhadap kualitas sumber daya manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kekurangan gizi yang terjadi sejak pada masa janin dan masa Balita akan menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik. Kekurangan gizi pada masa janin menyebabkan bayi lahir kecil atau berat lahir rendah, dan apabila kekurangan gizi berlanjut pada Balita akan mangakibatkan pendek pada usia remaja.

Anak kurang gizi terutama pendek berpengaruh pada rendahnya kemampuan kognitif, prestasi sekolah dan keberhasilan pendidikan. Anak kurang gizi pada usia dibawah 2 tahun, akan menurunkan produktivitas pada usia dewasa, sehingga menyebabkan rendahnya pendapatan. Selai itu, kekurangan gizi menurunkan daya tahan, meningkatkan kesakitan dan kematian Balita dan berkontribusi terhadap Umur Harapan Hidup.

Oleh karena itu, lanjut pria yang juga menjabat sebagai Direktur Akademi Gizi Surabaya ini, pembangunan SDM harus dimulai sejak bayi dalam kandungan sampai dengan usia dua tahun (1000 hari pertama kehidupan). Kurang gizi tidak hanya menggambarkan masalah kesehatan, tetapi lebih jauh mencerminkan kesejahteraan rakyat, termasuk pendidikan dan pendapatan.

Dalam pertemuan ahli gizi se-Jawa Timur itu, ia juga mengungkapkan bahwa saat ini kita mengalami problematika masalah gizi ganda. Prevalensi gizi kurang yang digambarkan dengan balita pendek dan kurus masih relatif tinggi, sementara masalah gizi lebih atau kegemukan pada balita dan dewasa sudah mulai meningkat.

Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 mengungkapkan bahwa pada saat ini sudah terdapat 11,9% Balita gemuk, akan tetapi kejadian gemuk dan obese pada kelompok penduduk usia diatas 18 tahun sudah mengkhawatirkan. Dari total jumlah penduduk nasional usia diatas 18 tahun, kejadian obesitas pada laki-laki mencapai 19,7 % dan pada perempuan 32,9%. Kelompok perempuan lebih berisiko menderita gemuk dan obese dibandingkan kelompok laki-laki.

Sementara itu bila dibedakan menurut tingkat pendapatan, terlihat jelas bahwa semakin tinggi pendapatan, risiko menjadi gemuk dan obese semakin besar. Namun demikian, pada kelompok termiskin, prevalensi gemuk dan obese sudah mencapai 18.2 % untuk perempuan dan 8 % untuk laki-laki. Kegemukan dan obesitas merupakan salah satu risiko utama penyakit tidak menular sebagai penyebab utama kematian di Indonesia.

Disisi lain, Jaminan Kesehatan Nasional adalah suatu jaminan yang merupakan program pemerintah untuk menjamin seluruh masyarakat terpenuhi kebutuhan dasar yang layak. Salah satu kebutuhan dasar itu adalah kesehatan dan JKN adalah programnya. JKN dikelola dengan sistem asuransi sosial. Dengan demikian, semua harus membayar iuran, kecuali yang miskin dan tidak mampu. JKN akan menjamin semua penyakit pada masyarakat, baik yang berat maupun yang ringan.

Semakin tingginya aktivitas dan tuntutan pekerjaan membuat masyarakat, terutama yang tinggal di perkotaan sulit menjalani hidup sehat. Konsumsi makanan cepat saji yang tinggi gula, garam dan minyak, waktu olahraga yang terbatas, dan stres akibat pekerjaan tidak dapat dihindari. Orang semakin termanjakan dengan teknologi yang ada sehingga menjadi malas bergerak dan kurang melakukan aktivitas fisik. Penyakit tidak menular ini, sulit untuk disembuhkan, bersifat kronis/kambuhan dan akan membutuhkan biaya perawatan dan penyembuhan yang relatif besar.

Ia menekankan bahwa peran gizi yang mengedepankan aspek promotif dan preventif akan menjadi kunci keberhasilan JKN. Gizi yang baik pada seseorang, terutama pada balita, akan membuat daya tahan tubuhnya kuat dan tidak gampang jatuh sakit. Status gizi yang terjaga baik dengan konsumsi makanan yang bergizi, seseorang akan menjaga sehatnya agar tetap sehat dan mencegah sakit. Pada akhirnya, hanya sedikit dari anggota masyarakat yang mengeluh sakit, biaya perawatan menjadi rendah, sehingga premi yang ditanggungkan ke BPJS akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

Ia berharap, masyarakat dapat berperan besar dalam hal ini, karena dapat menjadi agen perubahan sekaligus pelaku dari gaya hidup yang lebih sehat. Dengan demikian akan tercipta masyarakat yang sehat dan tidak gampang jatuh sakit. Sehingga, niat tulus Pemerintah memberikan Jaminan Kesehatan kepada Masyarakat akan berjalan lebih lancar. (Ima)