dr. Ita Mardiana, Kepala Puskesmas Sidotopo

Surabaya, eHealth. Dengan segala keterbatasan tempat, dr. Ita Mardiana, Kepala Puskesmas Sidotopo tidak sedikitpun memperlihatkan guratan patah semangat dalam wajahnya. Meski Puskesmas Sidotopo berada di tengah-tengah pemukiman padat penduduk. Sudah sembilan Puskesmas di Indonesia yang pernah ia singgahi. Dengan bermodalkan pengalaman berinteraksi dari berbagai suku, dokter yang akrab disapa dr. Ita ini tak segan untuk beradaptasi, membaur dengan masyarakat di sekitar Puskesmas yang ia pimpin.

Bagi orang kebanyakan, mencari Puskesmas Sidotopo mungkin sedikit sulit, mengingat Puskesmas yang terletak di Jl. Sumbo II ini berada di tengah kampung yang padat penduduk.

Saat masuk jalan (yang lebih tepat disebut gang), tim eHealth disambut dengan tulisan “Diharap Turun” yang artinya pengendara motor dan sepeda harus turun apabila ingin menuju ke Puskesmas. Nyaris tak terlihat wujud Puskesmas ini jika dilihat sepintas dari mulut gang. Saat masuk gang, baru tampak wujud Puskesmas yang diapit oleh rumah penduduk dan hanya dibatasi oleh jalan kecil selebar satu setengah meter.

Saat bertemu dengan dr. Ita, wanita penuh semangat ini pun berseloroh “Monggo silahkan masuk, maaf ruangannya sempit,” sambut hangat dr. Ita pada tim eHealth. Ia menuturkan kalau dulu ruangannya bahkan berada di aula Puskesmas. “Ya keadaannya begini, dulu malah ruangan saya masih di aula kira-kira dua tahun lebih. Setelah itu, baru mendapatkan ruangan ini,” tukasnya disertai senyuman.

Sempat Nangis Melihat Kondisi Puskesmas

Masa kecil seorang Ita Mardiana dihabiskan di Kota Solo. Setelah itu pindah ke Sragen saat duduk di bangku Sekolah Dasar hingga SMA. Selepas SMA di Sragen dan masuk kuliah, ia pun dihadapkan pada pilihan, antara Fakultas Psikologi UGM atau di Fakultas Kedokteran UNS Solo. Karena melihat keseharian seorang ayahnya yang menjadi dokter, seorang Ita pun merasa tertarik dengan profesi yang mulia ini dan memutuskan untuk mengambil kesempatan kuliah di FK UNS Solo.

Saat ditanya mengapa sampai hijrah ke Surabaya, ia pun mengaku karena mengikuti tugas dinas suaminya yang selalu berpindah tempat. Maklum, suami dr. Ita seorang anggota TNI AL yang bertugas di Lantamal Timur Ujung Surabaya. Bagi istri seorang perwira TNI AL, ia selalu setia menemani suami bertugas dimana saja.

Ia pun menceritakan, pertama kali menginjak kota pahlawan ini saat tahun 2004 dan bertugas di Puskesmas Kenjeran sebagai dokter kedua hingga tahun 2008. Tak lama kemudian, Dinas Kesehatan Kota Surabaya selaku induk dari Puskesmas di Surabaya mengamanahkannya untuk pindah ke Puskesmas Sidotopo sebagai Kepala Puskesmas.

Awalnya ia sempat kaget dengan jarak tempuh yang lumayan jauh dari rumahnya yang berada di kawasan perumahan AL Kenjeran. “Saya sempat nangis waktu itu setelah melihat tempatnya berada di wilayah sini (Sidotopo, Red). Apalagi saat itu saya sempat mengalami kecelakaan,” ujarnya. “Tapi semuanya ternyata ada hikmahnya. Saya bisa makin akrab dengan masyarakat disini dan menjadikan rasa kekeluargaan.”

Mengenai karakter masyarakat yang berbeda-beda di setiap wilayah, dr. Ita pun mengakui kalau masyarakat di wilayah kerjanya mayoritas merupakan warga pendatang dan berkarakter keras. “Masyarakat disini memang cenderung (berkarakter) keras, mereka terkadang sering komplain karena tak mau menunggu antrian. Tetapi saya sering bilang pada karyawan saya agar tetap sabar. Namanya juga kita sebagai pelayan masyarakat,” imbuh dokter yang memiliki dua putri ini.

Tidak hanya itu saja, beberapa tahun kemarin, jika ada penyuluhan dari Puskesmas, sebagian masyarakat tidak mau hadir apabila tidak ada “buah tangan.” Mereka selalu beranggapan kalau datang ke tempat penyuluhan selalu dapat “sesuatu.” “Kalau saya datang, saya dapat apa? Uang atau bingkisan? Kalau tidak dapat apa-apa saya tidak mau,” tutur dr. Ita seraya menirukan ucapan orang-orang saat diajak ikut penyuluhan.

Berangkat dari keadaan inilah, dr. Ita ingin sekali memberikan yang terbaik pada masyarakat di Kelurahan Sidotopo ini untuk merubah cara perilaku dan mindset mengenai Hidup Bersih dan Sehat. Berkat kerjasama lintas sektor yang ia bangun,  berangsur-angsur masyarakatnya mulai bisa membuka pikiran akan pentingnya kesehatan serta dapat meyakinkan bahwa penyuluhan pengetahuan akan kesehatan sangatlah penting bagi diri mereka sendiri.

“Lama kelamaan mindset nya sudah pulih. Pikiran mereka sekarang sudah terbuka,” katanya.

Namun, yang masih menjadi tantangan bagi dr. Ita dan karyawan Puskesmas Sidotopo lainnya yakni masih kuatnya stigma pemberantasan nyamuk Demam Berdarah Dengue (DBD) hanya dengan fogging. Menurut masyarakat setempat, tanpa fogging dari rumah ke rumah rasanya kurang marem (pas). “Padahal saya sudah sarankan untuk 3M (Menguras, Mengubur, Menutup, Red) harus terus dilakukan (untuk atasi DBD, Red),” tambah dr. Ita.

Ia pun paham, masalah karakter masyarakat di tiap daerah memang berbeda. Baginya, ia justru banyak mendapatkan pengalaman mengenal karakter masyarakat tersebut sampai ia pernah mencicipi 9 Puskesmas di Pulau Jawa dan Pulau Bintan, Riau. Di Pulau Bintan inilah yang memberikan dr. Ita sebuah pengalaman yang unik, dimana di pulau tersebut banyak bermukim suku bangsa yang ada di Indonesia. “Disana itu (Pulau Bintan, Red) banyak sekali orang-orang dari seluruh Indonesia, jadi saya juga banyak belajar mengenal masyarakatnya,” paparnya.

Dengan berbagai pengalaman yang didapatnya, dr. Ita pun mulai mengedepankan pembenahan internal Puskesmas dalam hal ini menyangkut kualitas dan kenyamanan masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan.

Hubungan yang baik pun juga terjalin antar Kepala Puskesmas dengan karyawannya. “Saya juga tidak terlalu repot kok menangani para karyawan. Pada umumnya mereka sudah dewasa (dalam berpikir, Red),” kata dr. Ita.

Ditanya mengenai masalah keluarga, dengan senyum simpul ia mengaku menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada kedua putrinya untuk memilih jalan hidup mereka masing-masing. Meski, salah seorang putrinya mengikuti jejak ibunya dengan mengambil kuliah jurusan Kedokteran di Universitas Hang Tuah Surabaya yang memang sejak kecil bercita-cita menjadi seorang dokter.

Sebagai seorang muslim yang taat, sebuah tugas dan pekerjaan adalah amanah yang setia ia kerjakan. Menurut dr. Ita, kerjakanlah sebuah tugas pekerjaan sesuai dengan ajaran kita. “Semuanya yang kita kerjakan ada hikmahnya,” tuturnya. “Dan yang penting adalah menjadi manusia yang bermanfaat di dunia maupun di akhirat,” imbuh dr. Ita seraya mengakhiri wawancara dengan seulas senyuman.(Ian)