Turunkan Angka TB Dengan Strategi DOTS

Surabaya, eHealth.  Sebelum tahun 2009, Indonesia menempati peringkat ketiga dengan jumlah kasus TB (Tuberculosis) terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Sedangkan di tahun 2009, berdasarkan survei dari Global Tuberculosis Control, posisi Indonesia berada di peringkat kelima setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria.

Hal ini disampaikan oleh dr. Soedarsono, Sp P (K) saat memberikan materi mengenai Penatalaksanaan Penderita TB dengan strategi DOTS di hadapan Direktur Rumah Sakit Se-Kota Surabaya dalam Pertemuan Peningkatan Peran Serta Rumah Sakit dan Organisasi Profesi, yang bertempat di RS Mata Undaan, hari Kamis (27/10).

dr. Soedarsono menambahkan, turunnya peringkat Indonesia ke urutan lima selain karena keberhasilan tingkat pengobatan TB di Indonesia, juga meningkatnya kasus HIV/AIDS yang terjadi di Nigeria dan Afrika Selatan yang secara langsung juga mempengaruhi angka TB di dua negara tersebut.

Pria yang sehari-hari bertugas sebagai Staf SMF Paru di RSUD Dr. Soetomo ini mengatakan bahwa salah satu keberhasilan menurunkan angka TB yakni pengobatan dengan strategi DOTS (Directly, Observed, Treatment, Short Course). Di RSUD Dr. Soetomo sendiri, DOTS mulai diterapkan sejak tahun 2001 untuk penanganan TB Paru.

Penjabaran dari DOTS sendiri adalah Pusatkan (Direct attention) pada identifikasi Bakteri Tahan Asam (BTA) positif, Observasi (Observe) langsung pasien, lakukan pengobatan (Treatment) dengan regimen obat, dan OAT jangka pendek (Short Course) melalui pengelolaan, distribusi dan penyediaan obat yang baik.

“Pengobatan TB dengan strategi DOTS ini merupakan satu-satunya pengobatan TB yang direkomendasikan oleh WHO (World Health Organization),” ujar dr. Soedarsono.

Ia menuturkan, dokter yang menangani pasien TB hendaknya membuat strategi DOTS kepada pasiennya. Hal ini dikarenakan pengobatan TB yang membutuhkan keteraturan hingga pasien dinyatakan sembuh.

Strategi yang pertama adalah adanya komitmen antara dokter dan pasien untuk berobat secara teratur, kedua diagnosis TB utama melalui temuan BTA secara mikroskopis, ketiga adanya pengobatan jangka pendek kepada pasien dan pengawasan secara langsung.

“Pengawas pasien ini bisa dari dokter maupun keluarga pasien yang dikenal dengan PMO (Pengawas Menelan Obat) yang memastikan pasien minum obat secara teratur,” katanya.

Selanjutnya yang keempat adanya ketersediaan obat yang mencukupi, baik yang terdapat di Puskesmas maupun Rumah Sakit, dan yang kelima adalah adanya pencatatan dan pelaporan yang baku mengenai pemeriksaan dan pengobatan pasien TB.

Selain itu, dr. Soedarsono juga mengungkapkan, pengobatan penderita TB harus efektif, karena jika pengobatan yang tidak tepat seperti jenis obat, dosis dan lama pengobatan akan mengakibatkan terjadinya MDR (Multi Drug Resistant) pada penderita.

Oleh karena itu, semua provider yang menangani penderita TB mempunyai fungsi dan tanggung jawab akan kesehatan masyarakat, termasuk tidak hanya menentukan jenis obat-obatan yang tepat, tetapi juga memastikan penderita berobat secara teratur sampai selesai.

Diharapkan juga bagi masyarakat yang memiliki gejala TB secepatnya memeriksakan diri ke tenaga kesehatan terdekat, seperti Puskesmas untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan jika terlambat ditangani, maka konsekuensi yang timbul yakni penyakit penderita bertambah parah dengan risiko besar dapat meninggal akibat TB. Selain itu penderita akan tetap menjadi sumber penularan bagi orang di sekitarnya.

Gejala penyakit TB Paru pada orang dewasa yakni batuk terus menerus yang disertai dengan dahak selama 2-3 minggu atau lebih. Terkadang disertai gejala tambahan yakni batuk darah, sesak napas dan disertai dengan nyeri di dada, berat badan turun, timbul keringat saat malam hari walau tanpa aktifitas.

“Orang kontak (yang tinggal serumah, Red) dengan penderita TB BTA Positif juga dimotivasi untuk diperiksa,” ujarnya.

Dengan adanya strategi DOTS, dr. Soedarsono mengaku surveilans TB di Rumah Sakit berjalan baik. Parameter keberhasilan sejak dilaksanakan DOTS memang belum terlihat, tetapi ada kecenderungan ke arah perbaikan. Ia juga mengatakan masih ada kesenjangan antara konsep DOTS dan implementasinya, namun dr. Soedarsono meyakinkan bahwa kegagalan bukan karena konsep DOTS-nya yang salah, melainkan implementasinya yang belum sesuai betul dengan konsep DOTS.(And)