Kesehatan Jiwa Tidak Mematikan, tapi menimbulkan Beban Penderita

Kesehatan Jiwa Tidak Mematikan, tapi menimbulkan Beban Penderita

Surabaya, eHealth. Untuk memperingati Hari Kesehatan Nasional Ke-49 dan juga Ulang Tahunnya yang ke-62, Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan Dan Pemberdayaan Masyarakat (PHKPPM) Surabaya mengadakan seminar yang bertajuk ”Sehat Jiwaku, Sehat Bangsaku”, hari Rabu (06/11/2013) bertempat di aula PHKPPM Jl. Indrapura No. 17 Surabaya.

Seminar sehat jiwaku sehat bangsakuDalam seminar tersebut dihadiri oleh empat narasumber, yaitu dr. Eka Viora, SpKJ, yang menyampaikan Tantangan Pengelola Keswa (Kesehatan Jiwa) di Indonesia, Achmad Chusairi, MA, menyampaikan Kesehatan Mental: Perseptif Psikologi Sosial. Selain itu juga ada dr. Elly Yuliandari, Msi, psikolog dari Universitas Surabaya yang menyampaikan Advokasi Kesehatan Jiwa dalam Perspektif Psikologi Sosial, serta Yunita Fitrianti yang menyampaikan Penderita Gangguan jiwa dalam Kacamata masyarakat Desa Paringan, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo.

Dikatakan oleh dr. Eka Viora, SpKJ bahwa menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007, didapatkan data nasional tentang angka kejadian gangguan jiwa berat (skizofrenia) di Jawa Timur sebesar 1,4% dan Surabaya tercatat sebanyak 0,2%. Sedangkan gangguan mental emosional (seperti kecemasan, depresi, dll) sebesar 35% dan di Surabaya tercatat 18,8%.

Gangguan jiwa memang tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun akan menyebabkan penderitanya menjadi tidak produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga penderita dan lingkungan masyarakat. Saat ini ada kecenderungan penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan.

Dampak gangguan jiwa pada masyarakat sangat besar dan luas karena memerlukan biaya perawatan, kehilangan  waktu produktif, dan masalah yang berkaitan dengan hukum (melakukan tindakan kekerasan maupun mengalami penganiayaan).

Selain itu dalam paparannya, ia mengungkapkan agar seseorang yang pernah mengalami ganguan jiwa tidak dikucilkan dengan stigma bahwa dia pernah mengalami gangguan jiwa. Stigma itu dampaknya sangat besar, menjadikan seseorang yang pernah mengalami sakit jiwa tidak produktif karena tidak ada yang mau menerimanya bekerja. Sehingga seumur hidupnya bergantung pada keluarga.

Adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kerap dialami oleh penderita gangguan jiwa, seperti diperlakukan kasar, dipasung seperti layaknya hewan, dikucilkan, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, lanjut dr. Eka, solusi yang diberikan yaitu adanya perundangan yang berpihak pada perlindungan penderita gangguan jiwa RUU Kesehatan Jiwa dan RPP Kesehatan Jiwa. Memastikan semua penderita gangguan jiwa mudah mendapatkan akses pada pengobatan saat membutuhkan serta mendapat pelayanan dengan kualitas yang memadai dengan alokasi anggaran yang memadai.

Kebijakan kesehatan jiwa yang menjadi bagian sistem kesehatan Nasional dan daerah mengupayakan promotif dan preventifyang terintegrasi pada berbagai program lintas sektor serta melibatkan peran serta masyarakat.

Kebijakan dan strategi kesehatan jiwa nasional yang mengarahkan pada restrukturisasi layanan kesehatan jiwa membangun optimum mix of service yaitu perubahan layanan lebih pada layanan berbasis komunitas, mengintegrasikan layanan kesehatan (primer, sekunder, dan tersier), menurunkan tingkat ketergantungan hanya pada RSJ, memperbaiki layanan agar lebih responsif dan menghargai HAM. (Ima)