Surabaya, eHealth. Lansia merupakan unsur dari masyarakat yang memiliki risiko tinggi terkait masalah kesehatan, entah itu fisik ataupun psikologis. Salah satunya yakni Post Power Syndrome. Dimana gejala ini dialami oleh orang yang notabene memiliki latar belakang karir dan lingkungan sosial yang eksekutif.
Melihat kondisi demikian, Dinas Kesehataan Kota Surabaya memberikan pelatihan yang bertajuk Peningkatan Kesehatan Lansia Psikogeriatri di ruang Auditorium Arya Satya Graha Dinkes, hari Kamis (14/11/2013).
Tujuan kegiatan ini bagi Lansia mampu meningkatkan kesehatan psikologi dibarengi pikiran positif dengan menimbulkan perasaan bahagia. Sehingga, bisa hidup lebih berkualitas di tengah masyarakat.
Ketika manusia memasuki fase Lansia (60 tahun ke atas), mereka akan rentan mengalami depresi. Penyebabnya tentu beragam, mulai dari penyakit, kesepian, kehilangan penghasilan, dan sebagainya.
Menurut Tri Arimanto Yif Uwana selaku narasumber, era sekarang banyak sekali Lansia mengalami gejala post-power syndrome yaitu sekumpulan gejala kejiwaan yang terjadi akibat penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya seperti karirnya, kecantikan atau ketampanan, kecerdasan dan belum bisa menerima realitas yang dihadapi saat ini.
“Mereka (Lansia, Red) dulunya selalu diunggulkan dan diandalkan, tetapi sekarang sudah tak bertaji. Mereka seakan belum bisa menerima kenyataan yang walaupun ia sadar hidup di masa kini,” tukas staff Subkom Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya di hadapan 200 Lansia yang hadir.
Post-power syndrome ini muncul tatkala seseorang yang dulu memiliki jabatan ada kekhawatiran ketika mereka menginjak di usia tua. Timbul persepsi meyakini masa tua fisiknya sudah lapuk tidak seperti dulu masa muda.
Tri menambahkan, hal ini juga kerap terjadi pada orang biasa yang tidak punya jabatan. Dimana, ia mengasuh anaknya sejak bayi tiba-tiba menginjak remaja sang anak ingin berontak tak lagi bersikap penurut.
Gejala post-power syndrome bisa dilihat dari gejala fisik, misalnya tampak jauh lebih tua dibandingkan usia yang sebenarnya. Lalu gejala emosional, misalnya mudah tersinggung, merasa tidak berharga, murung, menarik diri dari pergaulan, tidak suka dibantah, dsb. Gejala perilaku, misalnya malu bertemu orang, pendiam atau sebaliknya suka memamerkan masa lalunya mudah melakukan tindakan kekerasan atau menunjukkan kemarahan/agresif.
Ciri-ciri orang yang rentan untuk menderita post-power syndrome yakni orang yang terlalu senang dihargai dan dihormati orang lain, suka dilayani. Orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri. Orang yang meletakkan arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada kemampuan mengatur orang lain, untuk dapat berkuasa atas orang lain.
Solusinya tentunya adalah peran keluarga memberikan dukungan dengan menerima Lansia dengan apa adanya. Memberikan dorongan untuk aktualisasi diri. Memberikan apresiasi setiap usaha sekecil apapun untuk dihargai. Apabila, muncul kemarahan sampai rewel diharapkan hadapi dengan kepala dingin. Terakhir segera konsultasikan ke dokter atau psikolog.
Melalui program psikogeriatri ini, Lansia mampu mengetahui bagaimana caranya mengontrol dan mengelola emosi dan perasaannya. Ketika terjadi perubahan di tandai adanya penurunan fungsi di dalam dirinya, serta berkesinambungan melakukan kegiatan sosial demi meningkatkan kebahagiaan dirinya.
Sehingga, para lansia tidak mudah mengalami depresi atau stres yang otomatis berpengaruh pada kebahagiaan anggota keluarga yang lain. Para Lansia juga dibekali pengetahuan dan dilatih bagaimana menjadi Lansia yang berkualitas sehingga kesehatanya terus terjaga karena kondisi psikis Lansia. (Ian)