BLF dan ORI Cegah Rantai Penularan Difteri
Surabaya, eHealth. Guna memutus rantai penularan dan mencegah semakin luasnya kasus Difteri di Jawa Timur, khususnya di Kota Surabaya, Dinas Kesehatan Kota Surabaya melaksanakan program Back Lock Fighting (BLF) dan Outbreak Response Immunization (ORI) di Kota Surabaya yang telah dimulai sejak tanggal 18 Oktober – 18 November 2011 ini.
Hal ini dikatakan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya dr. Esty Martiana Rachmie saat membahas pertemuan koordinasi pelaksanaan imunisasi BLF dan ORI bertempat di Graha Arya Satya Husada Dinkes Kota Surabaya, hari Jumat (18/11).
Kadinkes kembali menegaskan, Back Lock Fighting atau yang biasa disebut BLF adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak berusia 1 – 3 tahun. Prioritas sasarannya ialah kelurahan atau desa.
”BLF termasuk imunisasi tambahan. Lebih jelasnya kegiatan imunisasi yang dilakukan ketika ditemukannya permasalahan dari hasil pemantauan evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan pada periode waktu tertentu,” ujar dr. Esty dihadapan undangan yang mayoritas dihadiri oleh Kepala Puskesmas se-Kota Surabaya ini.
Sedangkan ORI ialah imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB (Kejadian Luar Biasa). Dilaksanakan pada daerah yang terdapat kasus PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi), dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia 12 bulan hingga 15 tahun. Melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setelah KLB tersebut terjadi (dalam hal ini adanya peningkatan status KLB Difteri di seluruh wilayah Jawa Timur, termasuk Kota Surabaya).
Untuk itu, lanjut alumnus Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta ini, kegiatan BLF dan ORI yang digelar mulai 18 Oktober-18 November pada Balita di Kota Surabaya sudah tercatat pemberian imunisasi campak sebesar 81 % dan Imunisasi Polio sebesar 77 %. Kadinkes berharap meski melebihi target batas waktu yang ditentukan, tetapi sebaiknya pemberian imunisasi ini terus digalakkan paling tidak mencapai hingga 90 persen yang memang bertujuan untuk memutus rantai penularan Difteri.
Nyatanya, dari sekian kasus yang ditemukan, seseorang yang telah di imunisasi pun terkadang masih bisa tertular. Hal ini disebabkan orang lain sebagai sumber penularan yang masih bebas kesana kemari dan carrier yang lolos berpeluang menjadi sumber penularan.
”Orang lain bisa terkena Difteri meskipun ia pernah di imunisasi, jadi yang menanggung beban bukan saja bagi si penular, tapi si tertular juga akan menanggung risikonya,” ujarnya.
Jangan Abaikan Hal Sepele
Sementara itu masih ditempat yang sama. Narasumber dari Dinkes Provinsi Jawa Timur, Djamari, SKM memberikan uraian tentang evaluasi pelaksanaan Campak dan Polio di Jawa Timur dengan kegiatan penanggulangan KLB Difteri dalam jangka pendek yakni, mulai 10 Oktober 2011 pada seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur. Bentuk penanggulangannya adalah menggerakkan Posyandu dan Puskesmas dalam memberikan imunisasi SBB, imunisasi DPT-HB kepada seluruh bayi.
Selain itu juga diberikan imunisasi DPT-HB pada anak usia 1-3 tahun yang belum mendapatkan imunisasi. Pemberian imunisasi Difteri (DT/Td) kepada seluruh anak usia >3 – 15 tahun di daerah kasus. Penguatan surveilans dalam reka deteksi dini Difteri di Puskesmas maupun Rumah Sakit. Isolasi kasus Difteri dan tatalaksana kasus sesuai SOP. Penanganan kontak dengan memberikan profilaksis erittroimisin dan dilakukan Swab tenggorokan dan hidung pada kontak serta melibatkan semua sektor dalam pencegahan penyebaran penyakit Difteri ini.
Pria yang sehari-hari bertugas di staf imunisasi ini pula menjelaskan adanya KLB Difteri di provinsi paling timur di pulau Jawa ini adalah konsekuensi logis dari kinerja pengelolaan program imunisasi yang kurang baik selama ini.
Djamari mencontohkan, kinerja pengelolaan program yang kurang baik tersebut antara lain cakupan rendah dan mutu vaksin yang juga rendah yang disebabkan penyimpanan vaksin di Puskesmas yang kurang baik dan yang diberikan pada anak bersifat Invalid Dose.
Selain itu, lanjutnya, berdasarkan coverage survey, hal yang menyebabkan ada sebagian masyarakat menolak adanya imunisasi dengan alasannya yakni kurangnya informasi, kurangnya pengetahuan ibu tentang kebutuhan imunisasi sebesar 20%, kurangnya pengetahuan ibu tentang kelengkapan imunisasi bagi bayinya dan masyarakat yang takut efek samping dari imunisasi itu sendiri sebesar 13%, kurangnya pengetahuan ibu tentang jadwal pelayanan imunisasi di Posyandu dan Puskesmas sebesar 20%, dan yang terakhir yakni persepsi yang salah tentang kontraindikasi imunisasi sebanyak 3%.
Permasalahan lain yang harus menjadi perhatian bagi petugas Puskesmas dan Posyandu yakni adanya masalah mutu rekapan hasil suprevise suportif. Menurutnya, Puskesmas dan Posyandu kurang patuh terhadap SOP (Standar Operasional Prosedur) seperti kurang memperhatikan umur minimal pada pemberian imunisasi DPT-HB1 & Campak dan interval minimal dosis berikutnya. Penyebabnya, petugas yang memvaksinasi berdasarkan jadwal buka Posyandu, bukan tanggal lahir bayi. Adanya bayang-bayang target K-4, record di kohort bayi tidak sama dengan buku KIA/KMS. UPS penyimpanan vaksin yang tidak memenuhi syarat dan cenderung beku, dan yang terakhir kurangnya pengawasan dan pembinaan dari Puskesmas dan Dinas Kesehatan baik di kabupaten/kota.
Dengan adanya berbagai penjelasan diatas, Djamari mengharapkan agar seluruh petugas Puskesmas khususnya di bagian imunisasi dapat memperhatikan hal-hal yang kelihatannya sepele namun berdampak besar jika mengabaikannya. (Ian)