Surabaya, eHealth. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa sebagai langkah pemulihan pada Balita gizi buruk haruslah diberikan asupan makanan sebanyak-banyaknya. Namun anggapan itu ternyata kurang tepat dan justru berakibat fatal yang berujung kematian jika memberikan asupan makanan kepada penderita gizi buruk tanpa mengukur takaran dan gizi yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan penderita tersebut mengalami Re-feeding Syndrome.
Re-feeding Syndrome (sindrom pemberian makanan) pertama kali ditemukan pada masa perang dunia kedua. Saat itu tahahan perang tidak diberi makan sama sekali selama berhari-hari. Setalah lama kelaparan dan diberi makan, para tahanan tersebut justru banyak yang mengalami komplikasi. Di zaman modern ini pun Re-feeding Syndrome masih terjadi walau tidak banyak. Lalu apa sebenarnya Re-feeding Syndrome dan bagaimana mencegahnya?
Pada kesempatan ini, dr. Ongko Susetia Totoprajogo, MNs, Sp.GK yang menjadi narasumber dalam seminar peringatan Hari Gizi Nasional Ke-60 menjelaskan mengenai Re-feeding Syndrome. Menurut pengajar Program Studi Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ini, Re-feeding Syndrome adalah kondisi dimana terjadinya pergeseran cairan dan elektrolit (terlebih fosfat) yang berhubungan dengan penderita malnutrisi yang tengah mendapat makanan enteral maupun parental. Re-feeding Syndrome ini menggangu metabolisme, akibatnya justru dapat menyebabkan kematian bagi pasien yang kelaparan atau sangat kurang gizi apabila salah penanganan.
Re-feeding Syndrome terjadi ketika pasien kurang gizi di beri makan dengan beban karbohidrat yang tinggi, sehingga terjadi penurunan fosfat, magnesium dan kalium, serta akan menyebabkan berbagai komplikasi. Pada saat lapar, sekresi insulin akan berkurang seiring asupan karbohidrat yang rendah. Sehingga cadangan lemak dan protein akan dipecah untuk menghasilkan energi. Pemacahan ini menyebabkan elektrolit intrasel terkuras, terutama fosfat.
Beberapa efek yang disebabkan antara lain: penurunan selera makan (anorexia), gangguan fungsi jantung (ardiac Insuffiency), frekuensi nadi meningkat (tachardia), komplikasi neuorologis (kejang), gangguan penyerapan makanan (mal absorption) dan keradangan (active inflammation).
Re-feeding Syndrome banyak ditemukan pada anak gizi buruk, Lansia dengan asupan gizi kurang (MBI < 14), penderita Kanker yang mendapat kemoterapi & post operative, penderita obesitas dengan diet sangat rendah kalori dan mereka yang tak makan selama lebih dari 7 hingga 10 hari. Re-feeding Syndrome bisa sangat fatal apabila tidak ditangani dengan benar.
Untuk pecegahannya, Re-feeding Syndrome sangat rawan di minggu-minggu pertama sejak dimulai pemberian dukungan nutrisi. Sebelum melakukan pemberian makanan (refeeding) perlu pemantauan selama 3 hingga 5 hari, kemudian memantau status gizi dan status dehidrasi.
Dokter yang mengambil spesialisasi gizi klinik ini juga menjelaskan agar asupan yang diberikan tidak berlebihan dan dilakukan setahap demi setahap, “Asupan kalori diawali 1200 – 1500 kcal/hari setiap 2 sampai 3 hari dan bila pemberian awal jumlah makanan dapat ditoleransi, maka dapat ditambah 500 kcl setiap 3 sampai 5 hari, tergantung dari kebutuhan pasien itu sendiri,” ungkapnya.
Ia juga berpesan terhadap para ahli gizi yang melakukan pendampingan agar memperhatikan asupan yang tepat kepada pasien yang mengalami malnutrisi. Karena bukan tidak mungkin para ahli gizi yang semula berniat menolong tetapi tidak tahu ukuran yang tepat dalam pemberian asupan gizi justru menyebabkan keadaan malah bertambah fatal. “Para pendamping justru jangan sampai menjadi malaikat pencabut nyawa, sebab penangan pasien malnutrisi haruslah tepat,” pesannya kepada seluruh undangan yang hadir di seminar tersebut. (dot)